Pariaman, satu-satunya kota tanpa etnis Tionghoa di Dunia
Sumber Gambar: Unas TV
Kota Pariaman merupakan salah satu kota kecil yang berada di Sumatera Barat. Kota Pariaman dihuni oleh penduduk dengan mayoritas etnis minangkabau, etnis jawa, batak dan banyak etnis lainnya yang ada di Indonesia. Namun diantara banyaknya etnis yang bermukim di Pariaman, terdapat satu etnis yang mungkin tidak akan pernah menjajaki Kota Pariaman, yaitu etnis Tionghoa. Hal ini tentu cukup mengherankan mengingat etnis Tionghoa dikenal sangat suka berbaur sehingga keberadaannya tersebar di seluruh dunia. Tidak adanya etnis Tionghoa di Pariaman bukanlah tanpa alasan, melainkan terdapat peristiwa sejarah dibaliknya.
Mulanya, Etnis Tionghoa sudah bermukim di Pariaman sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka hidup rukun, damai dan tentram bersama para pribumi. Namun hubungan baik yang sudah terjalin sejak lama itu berubah ketika masuknya penjajah Jepang ke Pariaman. Hal ini dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa ingin mendapat perlakuan istimewa di antara pribumi Pariaman sehingga rela melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian tentara Jepang. Meski harus menjadi mata-mata Jepang sekalipun.
Kecurigaan pribumi Pariaman terhadap etnis Tionghoa berawal dari diketahuinya lokasi persembunyian para pejuang Pariaman oleh tentara Jepang sehingga beberapa diantara mereka kemudian ditangkap. Atas kejanggalan tersebut, pribumi Pariaman menaruh rasa curiga kepada salah satu keturunan Tionghoa yaitu Too Ghan. Karena para tentara Jepang juga sering berkumpul di kedai kopi milik Too Ghan. Selain itu, ketika sedang membeli daging ke pasar, Too Ghan seringkali bertanya kepada pejuang Pariaman mengenai peristiwa penyergapan pedati Jepang. Yang mana hal inilah yang menjadi sebab utama konflik antara pribumi dengan Jepang.
Guna menindaklanjuti kecurigaan tersebut, pejuang pribumi Pariaman yang tersisa mengutus anak-anak untuk bermain di depan kedai kopi milik Too Ghan. Usaha tersebut ternyata membuahkan hasil, anak-anak itu mendengar percakapan antara Too Ghan dan tentara Jepang dan ditemukan pula fakta bahwa adik perempuan Too Ghan turut bersekongkol. Atas
Informasi tersebut, para pejuang menculik Too Ghan dan adiknya saat malam hari. Mereka diintrogasi dan mengakui perbuatannya. Para pejuang yang terlanjur marah membunuh Too Ghan dan adiknya dengan di gorok lehernya menggunakan kansas atau kanso, yaitu logam seng tebal. Kanso yang digunakan pada saat itu berasal dari bekas kaleng roti. Mereka yang terbunuh dengan kaleng yang masih menempel di leher kemudian “di pajang” didepan tugu Tabuik sekarang dengan tujuan agar tidak ada lagi yang berkhianat baik itu dari etnis Tionghoa maupun pribumi sekalipun. Atas peristiwa mengerikan tersebut, seluruh masyarakat etnis Tionghoa di Pariaman berbondong-bondong meninggalkan Pariaman dan menjual murah semua aset yang tersisa.
Peristiwa pembantaian atas pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa etnis Tionghoa ini dinamakan sebagai tragedi Kanso 44. 44 diartikan sebagai tahun terjadinya peristiwa tersebut, yaitu pada tahun 1944. 79 tahun sudah pasca peristiwa ini terjadi hingga sekarang, tidak ada satu orang pun etnis Tionghoa yang berdomisili di Pariaman bahkan untuk kunjungan wisata pun sangat jarang ditemukan. Tidak diketahui pasti apakah tragedi kanso ini masih menjadi alasan enggannya etnis Tionghoa datang ke Pariaman, namun yang pasti baik itu pemerintah maupun masyarakat Kota Pariaman tidak pernah melarang mereka untuk datang.
(Rheina Vanessa – Tim Kreatif Unas TV)